Nangguk Untung Cina, Kian Miskin NU
https://cendekia-pedia.blogspot.com/2017/04/nangguk-untung-cina-kian-miskin-nu.html
Ironi Peran dan Nasib NU
Zaini Rahman
(Ketua PB IKA PMII dan Mantan Anggota DPR)
HTI dan yang sejenis memang harus dicegah agar tidak terus menularkan virus khilafah yang mengancam Pancasila dan NKRI. Selama ini kelompok NU yang berusaha menghadang mereka, bahkan sering dengan cara konfrontatif sehingga muncul kesan NU memusuhi sesama muslim.
Pertanyaannya, kenapa selalu NU yang pasang badan? Ke mana kelompok lain? Ke mana kaum nasionalis yang besar itu? Kenapa pasukan mereka tidak muncul ikut menghadang? Bukannya mereka yang paling khawatir pada gerakan HTI dkk? Bukannya mereka yang paling miris dengan aksi 212?
Tidak terbayang andai NU tidak mencegah kekuatan arus 212, terlebih jika NU (yang katanya warganya 48% penduduk negeri ini) juga ikut mendorong dan memperkuat arus itu, entahlah apa yang akan terjadi.
Lalu, tahukah penguasa negeri ini bahwa sebenarnya NU punya masalah internalnya sendiri, yakni kemiskinan yang melanda warganya, dan kemiskinan itu tidak berdiri sendiri melainkan akibat dari Kebijakan-kebijakan struktural negara yang telah menimbulkan kesenjangan ekonomi yang parah di negeri ini.
Gini ratio yang tinggi sudah umum terjadi di berbagai negara, tapi untuk kasus Indonesia situasinya lebih rawan, karena si kaya yang menguasai sekitar 75% ekonomi diwakili oleh etnis minoritas yang jumlahnya sangat kecil (mungkin tidak lebih dari 5% penduduk).
Lihatlah data dari deklarasi harta kekayayaantax amnesty yang mencapai Rp 4.855 triliun, yang jumlah itu hanya dimiliki oleh kurang dari 1 juta orang (sekitar 0,4 % dari seluruh jumlah penduduk). Sementara PDB kita hanya sekitar Rp 10.500 triliun dan APBN kita kisaran Rp 2.200 triliun. Secara teoretik kondisi ini sungguh sangat menghawatirkan.
Anehnya, etnis minoritas yang kaya-kaya itulah yang selama ini mengambil keuntungan dan berlindung pada sikap dan langkah-langkah NU dalam menjaga Pancasila, NKRI dan stabilitas negeri ini. Tapi mereka jugalah yang menumpuk kekayaan negeri ini yang mestinya juga menjadi hak warga NU.
Penguasa negeri ini mestinya harus lebih berempati pada NU, jangan bisanya hanya membentur-benturkan NU dengan sesama muslim karena ketakutan dan ketidaktegasannya melarang gerakan kelompok-kelompok anti Pancasila dan NKRI itu. Sementara tetap membiarkan kebijakan yang tidak adil pada warga NU terus berjalan.
Perlu juga dicatat, NU tidak hanya ikut berjuang untuk menjaga keutuhan negeri ini sejak sebelum kemerdekaan, tapi juga kontribusinya secara ekonomi sangat signifikan. Teman saya dengan nada bercanda mengatakan bahwa dari cukai rokok saja warga NU menyumbang 3 kali lipat dari jumlah yang dihasilkan negara ini dari freeport.
Saya pikir sudah saatnya penguasa dan NU mulai mikir dan menimbang-nimbang. Penguasa mulai berfikir bagaimana membuat kebijakan-kebijakan yang bisa membantu mengatasi problem kemiskinan di kalangan warga NU, yang itu sebenarnya memang sudah menjadi tugas dan kewajban negara.
Sementara NU mungkin bisa mulai fokus pada problem-problem ekonomi warganya, bukan terus-terusan ribut soal menghadang HTI dkk. Gantian tugas itu biar dilakukan olh kelompok-kelompok lain.
Rilist ini dikirim oleh Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi Hukum DPR) melalui Akun Whatsapp.
Publisher. Muhri Andika
Zaini Rahman
(Ketua PB IKA PMII dan Mantan Anggota DPR)
HTI dan yang sejenis memang harus dicegah agar tidak terus menularkan virus khilafah yang mengancam Pancasila dan NKRI. Selama ini kelompok NU yang berusaha menghadang mereka, bahkan sering dengan cara konfrontatif sehingga muncul kesan NU memusuhi sesama muslim.
Pertanyaannya, kenapa selalu NU yang pasang badan? Ke mana kelompok lain? Ke mana kaum nasionalis yang besar itu? Kenapa pasukan mereka tidak muncul ikut menghadang? Bukannya mereka yang paling khawatir pada gerakan HTI dkk? Bukannya mereka yang paling miris dengan aksi 212?
Tidak terbayang andai NU tidak mencegah kekuatan arus 212, terlebih jika NU (yang katanya warganya 48% penduduk negeri ini) juga ikut mendorong dan memperkuat arus itu, entahlah apa yang akan terjadi.
Lalu, tahukah penguasa negeri ini bahwa sebenarnya NU punya masalah internalnya sendiri, yakni kemiskinan yang melanda warganya, dan kemiskinan itu tidak berdiri sendiri melainkan akibat dari Kebijakan-kebijakan struktural negara yang telah menimbulkan kesenjangan ekonomi yang parah di negeri ini.
Gini ratio yang tinggi sudah umum terjadi di berbagai negara, tapi untuk kasus Indonesia situasinya lebih rawan, karena si kaya yang menguasai sekitar 75% ekonomi diwakili oleh etnis minoritas yang jumlahnya sangat kecil (mungkin tidak lebih dari 5% penduduk).
Lihatlah data dari deklarasi harta kekayayaantax amnesty yang mencapai Rp 4.855 triliun, yang jumlah itu hanya dimiliki oleh kurang dari 1 juta orang (sekitar 0,4 % dari seluruh jumlah penduduk). Sementara PDB kita hanya sekitar Rp 10.500 triliun dan APBN kita kisaran Rp 2.200 triliun. Secara teoretik kondisi ini sungguh sangat menghawatirkan.
Anehnya, etnis minoritas yang kaya-kaya itulah yang selama ini mengambil keuntungan dan berlindung pada sikap dan langkah-langkah NU dalam menjaga Pancasila, NKRI dan stabilitas negeri ini. Tapi mereka jugalah yang menumpuk kekayaan negeri ini yang mestinya juga menjadi hak warga NU.
Penguasa negeri ini mestinya harus lebih berempati pada NU, jangan bisanya hanya membentur-benturkan NU dengan sesama muslim karena ketakutan dan ketidaktegasannya melarang gerakan kelompok-kelompok anti Pancasila dan NKRI itu. Sementara tetap membiarkan kebijakan yang tidak adil pada warga NU terus berjalan.
Perlu juga dicatat, NU tidak hanya ikut berjuang untuk menjaga keutuhan negeri ini sejak sebelum kemerdekaan, tapi juga kontribusinya secara ekonomi sangat signifikan. Teman saya dengan nada bercanda mengatakan bahwa dari cukai rokok saja warga NU menyumbang 3 kali lipat dari jumlah yang dihasilkan negara ini dari freeport.
Saya pikir sudah saatnya penguasa dan NU mulai mikir dan menimbang-nimbang. Penguasa mulai berfikir bagaimana membuat kebijakan-kebijakan yang bisa membantu mengatasi problem kemiskinan di kalangan warga NU, yang itu sebenarnya memang sudah menjadi tugas dan kewajban negara.
Sementara NU mungkin bisa mulai fokus pada problem-problem ekonomi warganya, bukan terus-terusan ribut soal menghadang HTI dkk. Gantian tugas itu biar dilakukan olh kelompok-kelompok lain.
Rilist ini dikirim oleh Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi Hukum DPR) melalui Akun Whatsapp.
Publisher. Muhri Andika