Syaf Tersangka Korupsi BLBI, KPK Mengusik Orangnya Mega
https://cendekia-pedia.blogspot.com/2017/04/syaf-tersangka-korupsi-blbi-kpk.html
Oleh Djoko Edhi Abdurrahman dalam Setatus Facebooknya pada 26 April 2017 pukul 1:58 WIB.
Penulis Marlin Dinamikanto
25 April 2017
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4). KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka yang diduga telah melakukan perbuatan merugikan keuangan negara sebesar Rp3,7 triliun. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Nusantara.news, Jakarta � Selasa (25/4) siang tadi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Syaf, begitu panggilan akrab Syafruddin Arsyad Tumenggung, dianggap mesti bertanggung-jawab atas dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang kini sudah dibekukan oleh pemerintah.
�KPK menemukan dua alat bukti permulaan, menetapkan SAT selaku Kepala BPPN sebagai tersangka,� terang Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di kantor KPK siang tadi.
Dengan terbitnya SKL untuk BDNI, lanjut Basaria, diduga negara dirugikan Rp3,7 triliun. BDNI sendiri adalah Bank milik konglomerat Syamsul Nursalim yang mendapatkan SKL BLBI senilai Rp27,4 triliun.
SKL itu terbit pada April 2004 setelah Konglomerat yang kabur ke Singapura itu menyerahkan asset {T Dipasena (laku Rp2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire yang hanya laku Rp1,83 triliun. Selisih antara utang dan asset ini yang dijadikan pijakan Syaf sebagai tersangka KPK.
Atas perbuatannya itu, Syaf yang dikenal dekat dengan Laksamana Soekardi dikenai sangkaan melanggar pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No.20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Paling tidak dalam catatan KPK ada 48 bank yang menerima BLBI secara keseluruhan mencapai Rp144,53 triliun. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, akibat kucuran BLBI itu negara dirugikan Rp138,7 triliun. SKL para penerima BLBI, satu diantaranya Syamsul Nursalim, dokumennya ditanda-tangani oleh Kepala BPPN Syarifuddin Tumenggung.
SKL BLBI sendiri dikeluarkan oleh BPPN di era kekuasaan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Payung hukum keluarnya SKL itu sendiri adalah Intruksi Presiden (Inpres) No.8 Tahun 2002 dan TAP MPR No.6 dan No.10.
Adanya SKL terhadap BDNI itu yang mebuat Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP-3) kepada Syamsul Nursalim. Namun penasehat hukum Syamsul Nursalim, Maqdir Ismail, membantah dengan alasan kliennya belum pernah diperiksa soal SKL yang melibatkan Syafruddin Tumenggung.
Mengusik �Orangnya� Mega?
Syafruddin Arsyad Tumenggung sendiri menjadi Kepala BPPN pada 22 April 2002, di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, menggantikan I Putu Ary Suta. Kala itu Syaf ditunjuk oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Soekardi.
Ada cerita menarik saat pengangkatan Syaf sebagai Kepala BPPN. Latar belakangnya yang Insinyur Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sama sekali tidak memiliki pendidikan ekonomi, apalagi perbankan, menjadi gunjingan hangat ketika itu.
Pada Desember 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Inpres No.8 Tahun 2002 yang lebih dikenal dengan Inpres Release and Discharge tentang kepastian hukum kepada debitur yang telah melunasi kewajiban atau menindak secara hukum debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Dengan bekal Inpres itu Syaf selaku Kepala BPPN menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) ke sejumlah pengusaha, diantaranya pemilik BDNI Syamsul Nursalim. Tapi apakah Syaf orangnya Megawati langsung atau dia termasuk ITB Connection yang dibawa oleh Laksamana Soekardi?
Bisa jadi Syaf memang �orang bawaan� Laksamana Soekardi. Namun perlu diingat, Laksamana Soekardi ketika itu �loyalis� Mega. Bahkan Mega saat menjabat Wakil Presiden pernah disebut-sebut marah kepada Presiden Abdurahman Wahid terkait pemecatan Laks sebagai Menteri BUMN pada 26 April 2000 tanpa sepengetahuan dirinya.
Terbukti ketika Megawati menjadi Presiden setelah Abdurahman Wahid alias Gus Dur dilengserkan oleh partai-partai politik �poros tengah�, Laksamana kembali ditunjuk menjadi Menteri BUMN pada 9 Agustus 2001 hingga berakhirnya masa jabatan Kabinet Gotongroyong pada 20 Oktober 2004.
Perpecahan antara Megawati Soekarnoputri dan Laksamana Soekardi yang didukung oleh Arifin Panigoro, (alm) Sophan Sophian, Roy BB Janis, Noviantika Nasution, (Alm) Soekowaluyo Mintohardjo baru terjadi setelah Kongres PDI Perjuangan di Bali pada 28 Maret � 2 April 2005. Sejak itu Laks dan kawan-kawannya mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang gagal meraih kursi DPR-RI pada Pemilu 2009.
Tidak seperti Laks yang tetap menjadi Menteri hingga bubarnya Kabinet Gotongroyong, Syaf menjadi Kepala BPPN sebelum Kabinet bubar. Tepatnya saat dibubarkannya BPPN lewat Kepres No 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN.
Setelah pemerintahan berganti Syaf disebut-sebut tersandung sejumlah kasus korupsi. Sebut saja tahun 2006, Syaf beserta Komisaris PT Rajawali III Nyono Soetjipto ditetapkan sebagai tersangka korupsi penjualan pabrik gula di Gorontalo oleh Kejaksaan Agung.
Dalam kasus ini Syaf menjadi tersangka dalam kapasitasnya selaku Kepala BPPN yang menjual pabrik gula milik negara yang dikuasakan kepada BPPN dengan harga murah, Rp84 miliar. Namun kasus itu dihentikan melalui SP-3 pada era Jaksa Agung Hendarman Soepandji tanggal 21 Juni 2007 dengan alasan tidak ditemukannya bukti-bukti yang kuat.
Lolos dari kasus penjualan pabrik gula, Syaf yang pernah menjadi anggota Dewan Komisaris Pertamina dituding terlibat dalam penjualan dua kapal tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) milik Pertamina. Kala itu selain Syaf, Kejaksaan juga menetapkan Laksamana Soekardi sebagai tersangka.
Tapi lagi-lagi, Syaf dan Laksamana Soekardi lolos dari jerat hukum dengan alasan yang sama, tidak ditemukan bukti-bukti yang cukup untuk menyeretnya menjadi terdakwa.
Setelah kasusnya reda, pada September 2016 lalu Syaf ditetapkan Kejagung sebagai tersangka kasus dugaan pembelian hak tagih (cessie) PT Advaesta Ciptatama oleh PT Victoria Securities International Corporation (VSIC) dan BPPN.
Akankah penetapan tersangka oleh KPK kepada Syaf dalam kasus BLBI itu menjadi bola liar yang menerjang kiri-kanan, termasuk kemungkinan menyeret nama Megawati Soekarnoputri dalam pusaran arus korupsi?
Mungkin terlalu berlebihan akan mengarah ke Presiden ke-5 RI itu yang belum lama ini berziarah ke makam ayahnya Sang Proklamator di Kota Blitar dengan ditemani Djarot Saiful Hidayat dan Kepala BIN Budi Gunawan. Tapi kita tunggu saja perkembangan kasusnya.
Penulis Marlin Dinamikanto
25 April 2017
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4). KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka yang diduga telah melakukan perbuatan merugikan keuangan negara sebesar Rp3,7 triliun. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Nusantara.news, Jakarta � Selasa (25/4) siang tadi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Syaf, begitu panggilan akrab Syafruddin Arsyad Tumenggung, dianggap mesti bertanggung-jawab atas dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang kini sudah dibekukan oleh pemerintah.
�KPK menemukan dua alat bukti permulaan, menetapkan SAT selaku Kepala BPPN sebagai tersangka,� terang Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di kantor KPK siang tadi.
Dengan terbitnya SKL untuk BDNI, lanjut Basaria, diduga negara dirugikan Rp3,7 triliun. BDNI sendiri adalah Bank milik konglomerat Syamsul Nursalim yang mendapatkan SKL BLBI senilai Rp27,4 triliun.
SKL itu terbit pada April 2004 setelah Konglomerat yang kabur ke Singapura itu menyerahkan asset {T Dipasena (laku Rp2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire yang hanya laku Rp1,83 triliun. Selisih antara utang dan asset ini yang dijadikan pijakan Syaf sebagai tersangka KPK.
Atas perbuatannya itu, Syaf yang dikenal dekat dengan Laksamana Soekardi dikenai sangkaan melanggar pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No.20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Paling tidak dalam catatan KPK ada 48 bank yang menerima BLBI secara keseluruhan mencapai Rp144,53 triliun. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, akibat kucuran BLBI itu negara dirugikan Rp138,7 triliun. SKL para penerima BLBI, satu diantaranya Syamsul Nursalim, dokumennya ditanda-tangani oleh Kepala BPPN Syarifuddin Tumenggung.
SKL BLBI sendiri dikeluarkan oleh BPPN di era kekuasaan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Payung hukum keluarnya SKL itu sendiri adalah Intruksi Presiden (Inpres) No.8 Tahun 2002 dan TAP MPR No.6 dan No.10.
Adanya SKL terhadap BDNI itu yang mebuat Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP-3) kepada Syamsul Nursalim. Namun penasehat hukum Syamsul Nursalim, Maqdir Ismail, membantah dengan alasan kliennya belum pernah diperiksa soal SKL yang melibatkan Syafruddin Tumenggung.
Mengusik �Orangnya� Mega?
Syafruddin Arsyad Tumenggung sendiri menjadi Kepala BPPN pada 22 April 2002, di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, menggantikan I Putu Ary Suta. Kala itu Syaf ditunjuk oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Soekardi.
Ada cerita menarik saat pengangkatan Syaf sebagai Kepala BPPN. Latar belakangnya yang Insinyur Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sama sekali tidak memiliki pendidikan ekonomi, apalagi perbankan, menjadi gunjingan hangat ketika itu.
Pada Desember 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Inpres No.8 Tahun 2002 yang lebih dikenal dengan Inpres Release and Discharge tentang kepastian hukum kepada debitur yang telah melunasi kewajiban atau menindak secara hukum debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Dengan bekal Inpres itu Syaf selaku Kepala BPPN menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) ke sejumlah pengusaha, diantaranya pemilik BDNI Syamsul Nursalim. Tapi apakah Syaf orangnya Megawati langsung atau dia termasuk ITB Connection yang dibawa oleh Laksamana Soekardi?
Bisa jadi Syaf memang �orang bawaan� Laksamana Soekardi. Namun perlu diingat, Laksamana Soekardi ketika itu �loyalis� Mega. Bahkan Mega saat menjabat Wakil Presiden pernah disebut-sebut marah kepada Presiden Abdurahman Wahid terkait pemecatan Laks sebagai Menteri BUMN pada 26 April 2000 tanpa sepengetahuan dirinya.
Terbukti ketika Megawati menjadi Presiden setelah Abdurahman Wahid alias Gus Dur dilengserkan oleh partai-partai politik �poros tengah�, Laksamana kembali ditunjuk menjadi Menteri BUMN pada 9 Agustus 2001 hingga berakhirnya masa jabatan Kabinet Gotongroyong pada 20 Oktober 2004.
Perpecahan antara Megawati Soekarnoputri dan Laksamana Soekardi yang didukung oleh Arifin Panigoro, (alm) Sophan Sophian, Roy BB Janis, Noviantika Nasution, (Alm) Soekowaluyo Mintohardjo baru terjadi setelah Kongres PDI Perjuangan di Bali pada 28 Maret � 2 April 2005. Sejak itu Laks dan kawan-kawannya mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang gagal meraih kursi DPR-RI pada Pemilu 2009.
Tidak seperti Laks yang tetap menjadi Menteri hingga bubarnya Kabinet Gotongroyong, Syaf menjadi Kepala BPPN sebelum Kabinet bubar. Tepatnya saat dibubarkannya BPPN lewat Kepres No 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN.
Setelah pemerintahan berganti Syaf disebut-sebut tersandung sejumlah kasus korupsi. Sebut saja tahun 2006, Syaf beserta Komisaris PT Rajawali III Nyono Soetjipto ditetapkan sebagai tersangka korupsi penjualan pabrik gula di Gorontalo oleh Kejaksaan Agung.
Dalam kasus ini Syaf menjadi tersangka dalam kapasitasnya selaku Kepala BPPN yang menjual pabrik gula milik negara yang dikuasakan kepada BPPN dengan harga murah, Rp84 miliar. Namun kasus itu dihentikan melalui SP-3 pada era Jaksa Agung Hendarman Soepandji tanggal 21 Juni 2007 dengan alasan tidak ditemukannya bukti-bukti yang kuat.
Lolos dari kasus penjualan pabrik gula, Syaf yang pernah menjadi anggota Dewan Komisaris Pertamina dituding terlibat dalam penjualan dua kapal tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) milik Pertamina. Kala itu selain Syaf, Kejaksaan juga menetapkan Laksamana Soekardi sebagai tersangka.
Tapi lagi-lagi, Syaf dan Laksamana Soekardi lolos dari jerat hukum dengan alasan yang sama, tidak ditemukan bukti-bukti yang cukup untuk menyeretnya menjadi terdakwa.
Setelah kasusnya reda, pada September 2016 lalu Syaf ditetapkan Kejagung sebagai tersangka kasus dugaan pembelian hak tagih (cessie) PT Advaesta Ciptatama oleh PT Victoria Securities International Corporation (VSIC) dan BPPN.
Akankah penetapan tersangka oleh KPK kepada Syaf dalam kasus BLBI itu menjadi bola liar yang menerjang kiri-kanan, termasuk kemungkinan menyeret nama Megawati Soekarnoputri dalam pusaran arus korupsi?
Mungkin terlalu berlebihan akan mengarah ke Presiden ke-5 RI itu yang belum lama ini berziarah ke makam ayahnya Sang Proklamator di Kota Blitar dengan ditemani Djarot Saiful Hidayat dan Kepala BIN Budi Gunawan. Tapi kita tunggu saja perkembangan kasusnya.